Ialah kita.
Aku ingat pertama kali kita bertemu. Aku duduk di belakangmu, saat itu aku meminjam kacamatamu karena mataku yang rabun. Aku menanyakan siapa namamu, darimana asal-usulmu. Percakapan sewaktu itu sangat singkat sekali. Begitu juga denganmu yang tidak butuh waktu yang lama untuk membuatku jatuh hati. Aku suka keluguanmu itu, aku suka tatapan sendumu itu, aku suka kamu, Entah kamu?. Tidak adakah secuil-pun kau memiliki rasa yang sama sepertiku, walaupun hanya sebutir pasir tidak adakah? Aku bingung mungkin perbedaan yang membuat kita tidak bisa bersama. Jika iya, bukankah perbedaan itu menjadi pelengkap kisah kita, pelengkap hubungan kita, dan juga pelengkap kita berdua. Sungguh aku menginginkan kebersamaan kita, menginginkan kita saling mengecup mesra. Tidakkah kau menginginkan itu sedikitpun. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, andai dalam diam doa-ku mampu menembus langit. Biarkan aksaraku terberai mengurai hati. Dan jiwaku melayang meraihmu di lain hari.
Ini kali keduaku takhluk kepada seseorang, di depanmu aku seolah-olah menjadi bisu. Kau seolah-olah menjadi titik lemahku sekaligus menjadi momok bagiku. Aku tak berdaya olehmu seakan aku kehilangan identitas diri. Rasanya aku ingin menjadi seseorang yang kau puja, agar kau bisa mencintaiku meski itu bukan diriku sendiri, setidaknya kau dan aku saling mencinta. Tapi malam ini akhirnya kita berduaan meski hanya dalam sekejap saja dan walau bagimu tidak berharga, namun berharga bagiku. Maaf jika tadi aku sangat cerewet, menanyakan kehidupanmu dimasa lalu. Tapi percayalah aku sungguh ingin tahu kisahmu dimasa lalu. Dan aku memohon kepada malam, dengarlah rintihan hati ini berkata, di kegelapan mata memandang, agar harap puisi tak selalu menuliskan derita; rindu.
Sekarang kau jatuh sakit, aku berusaha untuk peduli padamu. Segala perhatian yang ku lontarkan, kau menolaknya dengan tegas. Ah, bahkan perhatianku saja tidak kau terima. Mungkin memang kau tidak menyukai, mungkin hanya aku. Atau masih karena perbedaan yang ada. Entahlah aku membeku, sendiri dalam sujud malam palsu. Sebab tetesan air mata menjadi hujan, di dingin kisah yang tak sejalan. Di perjalanan pulang Kita tak banyak bicara. Selepas sampai di depan gerbang, tanpa senyum tanpa sapa, kau langsung saja menaiki tangga. Dengan wajah yang mengharapkan ucapan selamat malam. Kau tetap saja melangkah menuju ke kamar. Mungkin kau memang lelah dan butuh istirahat, tidurlah terlaplah kekasih, meski saat kau terpejam, rindu ini akan tetap terjaga; untukmu. sudah saatnya bagiku untuk berkemas pulang. membawa serta gurat cerita dan segala kenang. sebelum ketiadaan menitipkan hampa dan kehilangan.
Bila pada akhirnya aku hanya menjadi satu kenang yang pernah mengecup lembut keningmu, simpan aku dalam sebaik-baik ingatanmu. Sebab kita, sepasang asing yang keliru dipertemukan cinta. hingga pada akhirnya hanya melukai antara satu dengan yang lainnya.
(Ryp)
Comments
Post a Comment