Rumah part III

Di beranda pulang ini, selain selembar kecemasan dan secangkir kopi yang dingin hanya rindumulah yg kutunggu.

Setelah beberapa tahun berlalu, aku pun memutuskan untuk kembali pulang dan menghentikan pelarian yang begitu sunyi ini. kembali pada kesibukanku menulis sajak-sajak yang berelegi. Hari-hari ku berjalan seperti biasa, seperti manusia biasanya, Hanya saja masih meminum (menelan) rasa pahit. Tidak ada aktivitas khusus, Bangun, pergi kerja, pulang hingga larut malam dan pergi tidur. Setelah aku kembali dari pelarian, aku menerima tawaran kerja dari temanku yang dulu sempat tidak ku tanggapi, karena aku lebih memilih melakukan suatu pelarian. Ya setidaknya sekarang aku memiliki penghasilan untuk dijadikan simpanan, simpanan untuk persiapan, persiapan untuk melakukan pelarian lagi jika disakiti kembali. Toh, setidaknya hidup tidak melulu tentang kepedihan. Pagi ini di pusat kota ada sebuah pameran, aku pun pergi untuk melihat-lihat dan mengabadikan hasil karya dari para seniman-seniman yang hebat. Selagi akhir pekan, aku meluangkan waktu untuk merenovasi otakku setelah disibukan oleh tugas pekerjaan yang makin menumpuk. Selain pameran seni lukisan, seni patung, makan-makanan tradisional, acara pun semakin meriah dengan adanya penyanyi-penyanyi dan band indie yang menghibur para pengunjung. Aku pun sempat mencicipi makan-makanan tersebut sambil menikmati alunan musik yang sedikit sendu. Tiba-tiba ada tangan di pundakku aku pun terkejut lalu menoleh, ah ternyata dia. Aku bertanya kenapa datang sendirian. Ia menjawab jika suaminya lagi diluar kota. Dulu kita sering melihat pameran bersama-sama kau ingat, aku bertanya. Iya aku ingat tapi itu dulu, dulu sekali sekarang sudah berbeda tidak lagi sama. Dia menjawab sambil tersenyum. Ia bertanya tentang kabarku dan apakah sudah menemukan pengganti selepas kepergiannya. Aku menjawab jika aku sempat bertemu dengan perempuan yang mampu membuatku akan lupa dengan kepedihan yang telah kau tanamkan, bertemu perempuan yang membuatku bangkit dan siap untuk mencinta lagi. Ia bertanya lagi, lantas kenapa kau tinggalkan. Entahlah, aku tidak begitu merasa yakin dengannya (perempuan itu). Aku rasa dia tidak akan pernah memilihku utuh, kataku. Aku ditampar lalu ia berkata bodoh, karena telah menyia-nyiakan orang yang pantas untukku, dan aku adalah seorang laki-laki yang egois yang hanya memikirkan perasaan sendiri tidak dengan perasaan orang lain, dia berkata, iya dia (perempuan yang dulu pernah ku harapkan jadi rumah tempat ku berpulang, tetapi ia lebih memilih untuk merobohkannya). Aku bertanya bagaimana kau bisa menyimpulkannya seperti itu. Dia menjawab seseorang tidak akan mudah melupakan kepingan-kepingan masa lalu, jika tanpa adanya seseorang membuat bangkit kembali. Dan dia berkata lagi Jika aku dan perempuan itu adalah dua hati yang telah tersakiti untuk saling memiliki. Tidak lama kemudian dia pergi untuk melihat-lihat pameran lagi, sedangkan aku hanya masih berdiam diri dengan segumpalan rasa penyesalan. mungkin apa yang dikatakannya itu benar. Mungkin saat ini aku adalah manusia paling bodoh di alam semesta, entahlah pikiranku meracau. Senja pun berlalu tanpa makna, tanpa pesan cinta, tanpa sepatah kata, dan aku tetap saja merawat kegelisahan dengan setia.

Pada mata yang belum mengusaikan mimpi, cinta; serupa cahaya yg menuntun langkah kaki ini ke pelukan lagi.

Pagi ini masih sama, masih tetap meneguk secangkir kopi yang pahit. Terlihat dilangit awan nampak cerah tapi hatiku masih saja tetap resah. Mungkin karena perkataan kemarin. Sehingga kerinduan tanpa ragu muncul di pikiran. Segera aku menghubungi temanku untuk meminta email ataupun nomor ponsel perempuan itu. Temanku menjawab jika ia sudah lama tidak bertemu lagi dengan perempuan itu. Aku bertanya lagi tentang kehidupan perempuan itu, dan apa yang membuat perempuan itu sangat menderita. Temanku menjelaskan jika orang tuanya bercerai, setelah perceraian itu ibunya mengalami depresi berat yang membuat ibunya sampai meninggal. Mendengar itu aku pun ikut bersedih. mungkin benar jika putus cinta belum seberapa dibandingkan kepedihan yang dia alami. Sebelum menutup telepon, temanku sempat mengatakan bahwa terakhir ia mendapatkan kabar bahwa perempuan itu sekarang tinggal bersama saudara dari ibunya dan memberikan email perempuan itu. Kini rindu membius logikaku. Memeluk, merasuk, tanpa malu-malu. Dalam doaku, aku memohon rindu menjelmamu. Seiring langkah yang tidak menemukan arah, kehampaan pun kian ikut serta. Kali ini sungguh berbeda walau belum jadi milikku utuh, rasa kehilangan yang sangat luar biasa mencampuri perasaan ku yang hampir membuatku putus asa. Aku memutuskan untuk istirahat sejenak dengan duduk dibangku taman. kegelisahan kian tak terbendung, dan perasaan menjadi ambigu, ingin mencarinya atau merelakannya. Segala pesan yang ku lontarkan lewat email satupun belum ada balasan. Berharap kepada semesta agar kami dipertemukan kembali, walau hanya beberapa detik. Setidaknya aku bisa melihat bibir meronamu lagi. Jika hanya dalam mimpi sekarang aku bisa bertemu denganmu, aku harap untuk tertidur selamanya. Langit berganti senja aku segera beranjak dan pergi dari taman, sudah cukup untuk merenungkan kesalahan. Sekarang aku butuh makanan untuk perutku dan memberi menutrisi kepada otak agar otakkku mampu bekerja dengan baik saat mengenangmu. Angin bertiup dengan kencang menerjang pohon-pohon disekitar. daun-daun mulai berguguran di dadaku, menuntun ke jalan pulang menuju kenangan. diperjalanan pulang aku sempat mampir untuk membeli santapan. Sekarang semesta sedang baik denganku, kita bertemu kembali dengan cara tidak sengaja lagi. Perempuan itu duduk manis bersama temannya yang sedang asyik menyantap makanan, aku pun melangkah mendekatinya. Perempuan itu berkata, ada keperluan apa?. Aku bertanya kenapa segala pesanku tidak dibalas. Perempuan itu menjawab, jika tidak ada waktu, sama sepertiku dulu yang tidak ada waktu untuk hidup bersamanya. Aku mencoba menjelaskan dan ingin merubah keadaan, aku pun meminta maaf soal kejadian itu. Perempuan itu menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam dan berkata jika tidak ada yang perlu dirubah. Lantas apa ini inginmu, kedua orang yang saling merindu tapi tetap kokoh untuk tidak bersatu karena ego, aku berkata. Dan perempuan itu berkata jika aku sudah salah, jika selama ini hanya aku yang merindu sedangkan dia tidak sama sekali merindu. Perempuan itu pun lekas beranjak pergi dengan temannya. Senja pun ditelan oleh garis cakrawala. Kini malam tanpa aksara, tiada kata. Hanya ruang hampa, berdinding kelam berhias remang tanpa cinta

Cinta itu sesederhana dua gelas kopi hitam, saat kopinya habis, kau dan aku saling menertawakan ampasnya yang menempel di gigi.

Jika buih di atas kopiku tak membentuk wajahmu, maka kubiarkan saja ia menggigil dalam cangkir ini. pada akhirnya rindu akan selalu menjadi rahasia dibalik air mata. Sore hari, aku mencoba untuk mengirimkan pesan lagi melalui email, tapi masih saja tetap tidak ada balasan. Aku pun mencari akun media sosial perempuan itu. Melalui akun media sosial, akhirnya aku mengetahui dimana keberadaan perempuan itu, yang ia posting dari salah satu akun media sosial. Segera aku melangkah untuk menemui perempuan itu. Dalam keramaian di suatu taman, terlihat perempuan itu yang sedang bersama ketiga temannya. Aku pun mendekati perempuan itu, dan meminta sedikit waktu untuk berbicara. Dan mengajak pergi dari keramaian mencari suasana yang cukup tenang untuk berbicara. Tiba-tiba perempuan itu bertanya, kenapa aku pergi meninggalkannya sewaktu dulu. Aku langsung menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut perempuan itu. aku pergi, untuk kembali menemukan cara menciummu dengan sebaik-baiknya doa. Perempuan itu berkata jika dia tidak akan percaya lagi dengan segala kata dariku. Lantas, harus bagaimana lagi aku harus menyakinkanmu kembali? Aku bertanya. Perempuan itu menjawab jika tidak ada yang harus aku lakukan, dan tidak ada yang akan menyakinkannya. Kau tahu kenapa aku memilih untuk menulis sajak kembali, perempuan itu menggeleng dan bertanya. sebab aku mencintaimu, itulah kenapa aku menulis, agar kesedihan ini tak perlu kubisikkan di telingamu. Dan aku percaya jika kita dan cinta diciptakan untuk mengganti kesedihan yang kita rasakan menjadi Isak tawa. Hujan pun mengalir membasahi pipi perempuan itu. Lagi-lagi perempuan itu menangis karena ku. Segera ku seka air matanya, perasaan ku menjadi berat saat melihat air matanya menetes. Bahkan didalam mimpi saja aku tidak rela melihat air matanya jatuh. karena airmatanya sebilah pisau, yang menembus jantung dan rasa bersalahku. Perempuan itu pun berkata bahwa dia juga mencintaiku dan memeluk tubuhku. Dan dia berkata untuk jangan pernah lagi meninggalkannya. Bibirku pun mencium kening perempuan itu dan berjanji untuk tidak akan meninggalkanya kembali.  bagiku ciuman adalah syair paling hangat yang tak akan pernah ditemukan di selembar buku manapun. hanya warna hitam yang tampak di langit. mungkin, ribuan bintang telah bermalam di mata seseorang yang sedang jatuh hati. Aku pun menggenggam tangan perempuan itu dan menatap sinar bintang di langit. Mungkin bintang di langit itu meminjam cahayanya dari matamu yang berbinar Indah. Perempuan itu tersenyum sembari bersandar dipundakku. Cintaku ini akan sesetia engkau; rumah bagi segala kesedihan untukmu berpulang.

Ryp

Comments

  1. Cerita ini hayalan atau ada inspirasi sendiri?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih ke fiksi, tapi kalau inspirasi masih tetap ke satu orang yang sama. Yang membuatku memulai untuk menulis:)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Aku; Terlalu berlebihan.

Hujan