Rumah part II

Selepas kepergiannya, aku masih menghidupkan cinta dari waktu yang di kekalkan kenangan.

Dari balik kaca jendela kereta terlihat senja jatuh menjadi hujan. Sialnya kenapa hujan selalu membawa serta kenangan, yang mana setiap rintiknya mampu membuatku mengenangnya dalam basahnya hujan. mungkin karena aku masih merindunya. Barangkali sampai saat ini tidak ada yang setia selain rindu, tanpa musim tanpa waktu, ia masih tetap setia memeluk tubuh. Kereta pun berhenti di stasiun kelas B, sebagian penumpang ada yang turun, dan penumpang yang telah menunggu di stasiun segera masuk ke dalam kereta untuk menempati kursi mereka masing-masing. Kursi di sebelah ku masih saja kosong. Mungkin orang yang memesan kursi ini ada di stasiun selanjutnya, entahlah. Kereta mulai berjalan kembali. Aku kembali menatap ke luar jendela, melihat hujan yang sudah mulai reda. Tidak lama kemudian datang petugas kereta api berdiri disamping ku dengan tiket ditangannya. Petugas itu memberi tahu kepada sang penumpang bahwa kursi itu adalah tempat duduknya. Ternyata penumpang disebelahku adalah seorang perempuan, yang sangat risih sekali saat menaruh barang-barangnya. Dengan nada lugu perempuan itu bercerita jika tadi salah masuk gerbong. Mungkin ini kali pertama perempuan itu naik kereta, jadi mungkin dia masih bingung. Akhirnya sampai juga pada stasiun tujuan, aku pun segera turun. Teman yang sudah ku hubungi sebelum tiba di stasiun tadi, ternyata sudah datang untuk menjemputku. Karena sudah lama tidak bertemu kami pun mencari tempat untuk berbincang sambil memesan minuman. Temanku bertanya kenapa aku melakukan suatu pelarian, tujuanku masih sama melakukan pelarian untuk bisa melupakan kenang yang menyakitkan. Setelah puas mengobrol kami pun lekas pulang. Sekarang sudah larut malam, dan secangkir kopi yang hangat yang paham bahwa rindu tetaplah kekal serupa kehilangan.

Pagi mungkin mampu menghapus embun di pucuk daun, tapi tidak dengan kau, yang ada di ujung ingatanku.

Kopi pahit masih saja menjadi minuman favoritku, setelah sebilah pedang tajam yang menusuk tubuhku; kepergiannya. Aku sekarang menjadi penikmat rasa pahit. Karena bosan terus - menerus dirumah, aku mengajak temanku untuk pergi keluar rumah, temanku mengajak pergi ke cafe yang sederhana. Terlihat dari jauh perempuan yang sedang duduk sendirian, yang tampak tidak asing lagi bagiku dan perempuan itu melambaikan tangan. Temanku menuju kesana, dan memperkenalkan kami berdua. Perempuan itu bercerita bahwa kami sudah pernah ketemu di kereta. Ah, aku baru ingat ternyata perempuan yang duduk di sebelah ku kemarin. Kami bertiga pun bercanda, perempuan itu terlihat tertawa lepas bahagia. Tiba-tiba temanku baru ingat jikalau dia punya janji dengan kekasihnya. Tinggal aku dan perempuan yang risih sewaktu di kereta api kemarin, tidak lama kemudian perempuan itu mengajak untuk pulang. Setelah pertemuan itu kami jadi sering bertemu. Aku merasa bahagia saat disampingnya, dan sekarang Kami semakin erat, dan sekarang kami semakin dekat. Kali ini kami akan bertemu lagi untuk kesekian kalinya. Aku pun bertanya apakah kau sudah punya kekasih? Perempuan itu menjawab tidak, tidak akan pernah terjadi. Kenapa? Kataku. Perempuan itu mulai bercerita, bahwa dia tidak akan pernah lagi percaya dengan laki-laki. Apa maksudmu, atau mungkin disebabkan oleh putus cinta, kataku. Perempuan itu menjawab Tidak, putus cinta belum seberapa dibanding dengan kesedihanku. Aku mencoba bertanya lagi agar dia mau bercerita. Perempuan itu menjawab, bahwa tidak akan ada orang yang mengalami luka separah dia,  tidak ada yang mengalami perih sehebat dia, dan tidak akan pernah ada yang memahami, jelasnya. adakah yang lebih gelap dari laut dalam, adakah yang lebih gersang dari gurun tandus, yang bahkan puisi saja tidak mampu menyebutnya; kesedihanku, perempuan itu berkata. Senja yang terbuat dari Airmata kering yang awalnya berwarna merah berubah menjadi kelabu, yang seketika berada di dalam mata perempuan itu yang meluap menjadi cairan, yang membasahi pipinya. perempuan itu pamit untuk pulang terlebih dahulu, dan berkata jangan pernah berharap untuk bertemu lagi. Mungkin benar perempuan itu pernah merasakan kepedihan yang teramat menyakitkan. Sehingga ditanya saja emosinya jadi meledak.

Pagi adalah cara semesta membuka mata, dan bertahan atas kesedihan yang menangisi sepi

Sejak kejadian kemarin, hari ini aku memutuskan untuk melanjutkan pelarian kembali. Walau sempat disarankan oleh temanku untuk menetap disini 1-2 hari lagi, untuk berpamitan dengan perempuan yang bernada lugu itu. Aku masih tetap bersikeras untuk pergi tanpa berpamitan terlebih dulu. Setiba di stasiun, perempuan yang mampu membuatku pulih dari keterpurukan, telah menunggu di stasiun terlebih dahulu. Perempuan itu berjalan kearah ku, lalu perempuan itu bertanya mau kemana? aku akan pergi, perjalanan ini begitu sunyi, jawabku. Perempuan itu masih saja mencoba menghalangiku berharap aku akan membatalkan niat untuk pergi. Aku pun berhenti melangkah dan berkata. adakah yang tinggal di dadamu selain aku? bila itu ada bahagia yang lain maka jadikanlah dia rumah tanpa kesedihan. Perempuan itu berkata tidak akan ada yang lain, tidak akan pernah ada. perempuan itu berkata lagi, bahwa akulah orang yang membuatnya percaya kembali terhadap laki-laki. Mendung pun terlihat dimatanya, dan berganti menajdi hujan yang mengalir dipipinya, aku pun mendekat sembari menyeka air matanya yang mulai menetes. aku berkata, Diantara kesedihan dan kebahagiaan yang menghampirimu, aku adalah air mata yang tak perlu kau jatuhkan, aku percaya jika menangis adalah cara rindu jatuh di kaki takdir, Karena sedingin apapun air mata, ia akan tetap mencari tempat jatuh paling hangat. Dan terima kasih, telah memperkenankan aku untuk bahagia dan pernah hidup menjadi ikan kecil di telaga matamu. Tapi pelarianku harus tetap berlanjut, aku akan tetap pergi. Airmata perempuan itu menetes lagi, untuk kedua kalinya aku menyeka air matanya dan berkata, Simpan saja air matamu, sebab ada kemarau lain yang mungkin lebih berarti untuk kau sejukkan daripada kehilanganku. Kereta pun sebentar lagi akan berangkat, aku segera menaiki kereta dan mencari tempat dudukku. Perempuan itu hanya bisa terdiam melihatku yang semakin jauh meninggalkan.

Pada akhirnya kehilangan selalu menetap di jantung kesedihan, dan doa ialah hujan yg tabah membasuhnya. Pertemuan itu awalnya memang indah. Timbul sebuah kebersamaan, akrab, dan semua itu berubah jadi luka ketika adanya Perpisahan. Pada pelarian ini aku belum menemukan rumah untuk tempatku berpulang. Dan berharap dipelarian nanti aku akan menemukannya entah itu dimana.

Ryp.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah part III

Indah; meski hanya untukku.

Akhir segala cerita.