Rumah

Pada waktu menunjukkan pukul 21:00 Secara tak sengaja kita bertemu (lagi). Aku melihat sesosok perempuan yang sekarang jauh berbeda, yang sekarang jauh lebih indah, yang sekarang tak lagi sama, perempuan itu adalah kau, yang berjalan dengan seorang laki-laki yang menggandeng tanganmu. Kau menyapa ku sembari memperkenalkan siapa laki - laki itu, dan mengajak ku duduk di suatu tempat. Barangkali dia lah yang menjadi alasan kenapa kau tidak bisa lagi menjadi tempat ku berpulang. Kau bercerita bahwa dia lah yang akan menjadi rumah untuk kau singgahi nanti, bukan denganku. Aku pun hanya bisa mengucap turut bahagia sembari melontarkan senyuman. Laki-laki itu berkata jika ia ada urusan dan mengajakmu pergi, Meninggalkan aku sendiri yang hanya ditemani secangkir kopi pahit dengan sedikit campuran rasa kepiluan. Ku lihat di dada Langit degup bintang tak lagi berkedip. Awan gelap menutup cahaya bulan, saat gerimis menjadi hujan. tidak barangkali itu bukan hujan, mungkin itu tangisan dari berjuta kenangan, mungkin juga itu tangisan dari hati yang kehilangan. Dan dari jiwa yang tidak sanggup lagi berkata.

Dengan hati yang tak memilih waktu, sepenuh cinta tanpa masa. Semenjak harap masih mendengung hampa; aku masih tetap memilihmu, aku masih mengharapkan mu. Lewat lengking gitar sendu, ku harap kau dengar kidungku. Sepi yang hiasi beranda jiwaku, semoga kau mengerti alunan hatiku. Tapi kau tak pernah mendengar? Bagaimana mau mendengar jika tiap malam hujan selalu turun, sehingga membuat alunan ku tertolak kembali ditiup oleh angin yang menyertai hujan. Untuk sementara, biarlah kusanding sunyi dalam hamparan malam. Berharap kelak kau dapat merinduku kembali. Aku percaya bahwa rindu itu akan tetap ada, jika rasa kita masih sama. kelak, rindumu-rindu kita akan kubawa pulang. Namun rindu kita tidak lagi saling mendekap. Sekarang rindumu bukan lagi tentangku, tawamu bukan lagi olehku, pelukmu bukan lagi untukku, tubuhmu bukan lagi di dekapku. Sekarang segala tentangmu adalah tentangnya. Selama ini aku sadar, jika masih mengharapkanmu itu kesalahan terbesar, yang  membuat hatiku makin teriris yang ditumpahkan pada air tangis dalam kisah yang teramat tragis.

Sudah lama kesendirianku di telan kelabu, yang terhempas waktu. Berteman angin yang berdebu, melindapkan mata pada pandangan yang semu. Waktu telah menyadarkan ku dari keterpurukan. Aku pun memutuskan untuk pergi ke berbagai destinasi untuk melakukan suatu pelarian. yang ku harap bisa memulihkan hati kembali, yang ku harap bisa melupakan tentangmu saat kembali nanti. Pelarian yang akan diiringi oleh keresahan hati, pelarian yang akan diiringi oleh patah hati. Mungkin inilah rasanya patah hati terhebat, patah hati yang paling baik membuat luka. Dan seiring bergulirnya waktu, kau pun luput dari ingatan ku. Aku pun telah menemukan kesibukan untuk menulis sajak - sajak yang sedikit berelegi, walau sederhana setidaknya bisa membuat ku tidak lagi teringat denganmu, disaat aku kembali nanti. di dalam perjalan aku berharap akan menemukan seseorang yang akan menjadi rumah tempat ku pulang.

Begitulah tulisan ini, yang di tumpahkan kepiluan dari setiap hati yang di tinggalkan. Yang hanya di beri harap-harap yang semu.

Ryp

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Rumah part III

Indah; meski hanya untukku.

Akhir segala cerita.